Phiti in a Misteriously Magic Town- Bagian 5: Pertemuan dengan Kerotti dan Teka-teki Kuburan Alwan
"Aswad mengincar Paman, Phiti. Paman ingin kau berjanji akan selalu berusaha menjaga dirimu baik-baik, apapun yang terjadi pada Paman. Paman sangat mencintaimu, Phiti," kata-kata Paman Rondey semalam terus terngiang-ngiang dalam benak Phiti. Semalaman Phiti tak sanggup memejamkan matanya. Pikirannya terus tertuju pada Paman Rondey. Keluarga satu-satunya yang ia miliki saat ini. Ia tak sanggup membayangkan harus kehilangan Paman Rondey. Rasanya pasti sangat sakit. Sakit sekali.
Phiti berjalan mengitari kediaman sementaranya bersama Paman, Meimei dan Pak Abyadh. Sebuah kastil unik berwarna oranye mencolok. Phiti heran, kenapa Paman dan Pak Abyadh memilih tempat persembunyian seperti ini. Sekali saja pasukan Aswad mampu menjebol pertahanan pulau ini, sudah pasti dengan mudahnya mereka ditemukan. Tapi Phiti yakin, orang secerdas Paman Rondey dan Pak Abyadh pasti berpikir panjang. Tentunya, banyak sekali hal yang tak ia ketahui dari pulau ini. Atau mungkin lebih tepatnya, sebenarnya ia tak tahu apa-apa sama sekali.
"Mengapa Aswad harus membunuh Paman Rondey?" Meimei bertanya setengah berbisik. Ini sudah lewat tengah malam.
"Ssssstt. Apakah kau yakin Phiti takkan mendengar?" Paman Abyadh melihat ke sekeliling dengan mata elangnya yang awas. Langkah mereka terdengar pelan sekali. Lebih mirip dengan suara langkah yang sedang mengendap-endap.
"Ia sudah tidur, Ayah. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menjaga Phiti?" Meimei bertanya dengan suara parau. Ia terdengar bingung dan ketakutan.
"Apapun. Kita harus memperkuat pertahanan di pulau ini," suara Pak Abyadh dan Meimei kemudian mulai menghilang, tak lagi mampu lagi ditangkap telinga Phiti yang menempel erat di pintu kamarnya. Jantung Phiti berdebar keras. Ingin sekali ia menangis saat itu. Ternyata, keselamatan Paman Rondey memang benar-benar terancam.
Phiti menghirup udara sejuk perbukitan sambil merentangkan kedua tangannya. Meskipun kepalanya penuh dengan sejuta permasalahan, kali ini ia merasa begitu nyaman. Ia terus menapaki jalan perbukitan yang terbentang di hadapannya. Tanpa disadarinya, ia telah sampai di puncak bukit itu. Ia lalu menoleh ke belakang. Kastil oranye mencolok itu terlihat seperti kue tart susun rasa jeruk. Phiti tertawa membayangkan dirinya dan Meimei berlari mengelilingi kue tart raksasa, sambil sesekali mencomot kue jeruk yang sangat lezat. Hmmmmm, pasti enak!
Pandangan Phiti kemudian tertuju pada pemandangan indah di depannya. Sebuah danau terlihat berkilauan terkena sinar matahari siang hari. Airnya tampak bening dan menyegarkan. Sebuah pohon rindang menaungi salah satu sisi danau itu. Phiti mendekat. Di sekeliling pohon itu, tumbuh beragam bunga-bunga indah dan rumput ilalang hampir setinggi badan Phiti. Kupu-kupu beterbangan, juga capung-capung. Phiti menari berputar-putar, berusaha menangkap kupu-kupu dan capung yang sesekali hinggap di atas kuntum bunga. Seketika bebannya terlepas, hilang. Kenangan-kenangan indah membayangi benaknya. Ia merasa sangat bahagia.
Taman yang penuh dengan bunga-bunga indah itu berakhir tepat di bawah sebuah pohon besar. Phiti menyipitkan matanya. Tampak sebuah daerah kecil berpagar yang dicat merah jambu. Ia mendekat. Sepertinya sebuah makam. Phiti menduga, itu adalah kuburan Alwan. Namun tak ada tulisan apapun pada papan kecil yang juga menurutnya tak tampak seperti nisan itu. Jadi, bangunan apakah ini? Benarkah ini kuburan Alwan?
"Kau pasti mengira ini adalah kuburan Alwan," sebuah suara membuat jantung Phiti terasa hampir copot.