Phiti in a Misteriously Magic Town- Bagian 2: Meimei dan Rumah Pohon Kelapa

"Paman, Phiti pulang," ujar Phiti begitu masuk ke rumah. Phiti melempar tasnya sembarang, maksudnya adalah membiarkannya tergeletak di atas sofa empuk Paman Rondey. Tapi tiba-tiba, sebuah tangan sigap menangkapnya dan "Buk!" tangan itu melemparkannya kembali, hampir saja mengenai muka Phiti.

"Argggh," Phiti membanting tasnya kesal. Ia mencari sosok yang tadi telah berani melempar tas itu ke wajahnya. Namun ia tak melihat sosok yang cukup kekar dan meyakinkan baginya untuk dapat melakukan hal itu hanya dalam hitungan detik saja. Yang ia dapati hanyalah seorang gadis mungil berpita merah jambu yang sedang asyik mengunyah apel sambil membaca sebuah buku dongeng.

"Siapa kamu?" Phiti bertanya ragu. Gadis itu mendongak, mulutnya masih sibuk mengunyah apel.

"Meimei," jawabnya dengan mulut penuh kunyahan apel.

"Oke. Meimei, apa yang kau lakukan di sini dan mengapa kau melempar tas ke wajahku?" Phiti menunjuk ke arah wajahnya yang merah padam karena kesal.

"Aku sedang membaca buku," kali ini Meimei menjawab tanpa melihat Phiti.

"Ah, ya sudahlah. Terserah kau saja," Phiti kesal melihat sikap Meimei yang terlalu cuek itu. Tidak merasa bersalah sudah hampir saja membuat tas Phiti mendarat di wajahnya. Sekali lagi Phiti mengingat keanehan orang-orang di kota ini. Hanya butuh membiasakan diri saja, Phiti. Mungkin semua orang memang begitu.

"Phiti, aku mencarimu," ujar Meimei ketika Phiti yang bersungut-sungut hendak naik ke kamarnya di lantai 2. Phiti menghentikan langkahnya. Ia masih sangat kesal dengan gadis itu.

"Apa aku mengenalmu?" ujar Phiti ketus.

"Mungkin kau tak mengenal kami. Tapi kami semua mengenalmu," ujar Meimei santai. Phiti terkejut. Apa maksud dari perkataannya. "Kami semua mengenalmu." Siapa yang dia maksud dengan semua?



"Bisa kau jelaskan Meimei, apa yang kau maksud dengan kami semua?" perlahan Phiti mendekati Meimei. Akhirnya ia bangkit dari sofa.

"Iya. Kami semua. Seluruh penghuni kota ini. Kota Ceem Enk," ujar Meimei dengan sikap yang sungguh meyakinkan. Phiti mengangkat alisnya.

"Kau begitu terkenal. Jauh sebelum kau menginjakkan kaki di kota ini. Aku teman satu sekolahmu, tapi kita lain kelas," Meimei berjalan mengitari Phiti, seperti tengah mengamati sesuatu.

"Apa itu sebabnya aku tak perlu memperkenalkan diri di depan kelas?" Phiti bertanya ragu.

"Yap."

"Apakah orang-orang di sini takut padaku?" pertanyaan Phiti yang kedua membuat mata Meimei membesar. Ia menatap tajam ke arah Phiti.

"Takut? Mana mungkin?" Meimei tak melepaskan tatapan itu. Phiti merasa sungguh tak nyaman.

"Lalu kenapa mereka selalu pucat pasi jika aku menatap mereka?"

"Apa aku terlihat seperti itu?" Meimei menyipitkan matanya.

"Kecuali kau dan Pamanku tentunya," jawab Phiti pelan. Kali ini ia yang merasa sedikit takut. Meimei tampak misterius dan aneh.

"Karena aku dan Pamanmu sama. Begitu juga dengan kau. Ada darah yang mengalir di tubuh kita. Itu yang menyebabkan kita hidup," ujar Meimei sambil menyeringai. Kali ini Phiti benar-benar takut. Tiba-tiba, dalam bayangannya, dari mulut Meimei keluar taring yang begitu tajam. Phiti sampai bergidik. Ingin sekali ia lari menjauhi Meimei sekarang juga.

"Jangan takut," nada bicara Meimei merendah. Ia sekarang nampak lebih bersahabat.

"Suatu saat nanti kau pasti tau maksud perkataanku tanpa harus kujelaskan," ujar Meimei sambil tersenyum. Phiti meneguk ludahnya sendiri. Kakinya masih gemetar. Sungguh, ia semakin bingung dan takut dengan sosok di hadapannya ini.

"Ayo ikut ke rumahku. Aku akan memperlihatkan banyak hal yang takkan pernah kau lihat di manapun juga," Meimei menarik tangan Phiti.

"Rumahmu di mana? Aku harus bicara pada Paman. Ia akan khawatir jika aku tak segera pulang," Phiti berusaha mempertahankan posisinya dan melawan tarikan tangan Meimei.

"Rumahku di sebelah rumahmu. Dekat sekali. Lagipula, Pamanmu juga ada di sana. Ia sedang menikmati teh bunga Pensilly bersama Ayahku," Meimei berusaha meyakinkanku dengan wajah manisnya. Ia sungguh sangat berbeda dari sebelumnya. Kali ini dia tampak menyenangkan dan baik hati. Akhirnya, Phiti memutuskan untuk mempercayai penilaiannya sendiri saat ini, bahwa Meimei adalah anak yang baik.

Ketika menginjakkan kaki ke luar rumah dan melihat sekeliling, Phiti baru sadar. Rumah Paman Rondey berada di tengah kebun yang sangat luas, hampir menyerupai hutan belantara. Ia sama sekali tidak menemukan rumah lainnya. Hanya samar-samar tampak Sekolah Blueberry, tempat yang baru saja ia datangi tadi pagi. Lalu di mana rumah Meimei? Perasaannya mulai tak enak lagi.

"Ini rumahku," ujar Meimei sambil menunjuk sebuah pohon kelapa yang sangat besar. Phiti tak mengerti.

"Ayo kita masuk," Meimei menarik tangan kanan Phiti dan meletakkan telapaknya ke permukaan kasar di batang pohon yang sangat besar.

"Coco, ini temanku Phiti. Bukakan pintunya," ujar Meimei tanpa melepaskan telapak tangan Phiti dari permukaan kasar itu. Lalu tiba-tiba sebuah pintu muncul dari sana. Seperti pintu sebuah lift yang membuka ke arah samping.

Bayangan Phiti semakin mendekati lift di mall yang pernah ia datangi. Pintu ini mengantarkannya ke sebuah ruangan kecil yang dindingnya berupa kaca transparan. Dari kaca itu ia bisa melihat berbagai pemandangan indah. Nuansa perbukitan, pantai, dasar laut, tepi jurang, gunung berapi, semuanya tampak berganti-ganti, seperti menonton sebuah film dokumenter. Phiti tak merasa bahwa ia sedang naik, karena memang ruangan itu tidak lain adalah sebuah lift. Lift yang berada di dalam pohon kelapa raksasa.

"Kita sudah sampai di pucuk pohon," ujar Meimei. Phiti yang sedang menikmati keindahan pemandangan yang dilihatnya, terlonjat kaget.

"Pu...pucuk pohon?" ia bertanya bingung. Pintu lift pun terbuka. Phiti melangkahkan kaki dan "Aaaaaaaa," dia menjerit keras sambil mencengkeram baju Meimei.

"Jangan takut. Kau tak akan jatuh," Meimei tertawa geli. Phiti kaget karena saat melihat ke bawah, ia berada beberapa puluh meter dari tanah dan lantai yang diinjaknya trasparan!

Phiti menenangkan dirinya. Lagi-lagi keanehan ini seharusnya dapat membuatnya lebih mudah memaklumi apapun yang akan ia temui di Kota Ceem Enk. Phiti menghela nafas panjang. Tapi baru saja ia berusaha membiasakan diri, tiba-tiba sesuatu yang sangat luar biasa anehnya membuat Phiti terlonjak kaget. Saat ini ia sudah ingin menjerit sekeras-kerasnya. Kedua tangannya menutup erat mulutnya yang hendak berteriak. Sebuah makhluk besar berbulu tebal hitam mengkilat dengan cakar panjang mendengkur tepat di hadapannya. Lalu tiba-tiba, dari balik kepalanya muncul seseorang berambut penuh uban yang tampak tak asing bagi Phiti. Sosok itu dengan tertatih-tatih, berusaha memanjat kepala makhluk raksasa yang menyeramkan itu.

"Paman?" teriak Phiti.

"Hai Phiti. Rupanya kau sudah pulang sekolah. Bagaimana hari pertamamu?" ujar Paman Rondey saat telah duduk santai di atas kepala makhluk itu.

"Ba..ba...baik. Tapi, it...itu... Makhluk apa Paman?" Phiti menunjuk ke arah makhluk di hadapannya dengan jari telunjuk yang bergetar.

"Ini maksudmu?" Paman Rondey menggerakkan telinga makhluk yang lentur seperti karet itu.

"Perkenalkan, Phiti. Dia adalah Ash-ash, hewan tempurku. Ciptaan Paman Rondey," ujar Meimei sambil menepuk lembut kaki makhluk itu. Ash-ash tidak bergerak sedikitpun, meskipun-menurut Phiti- Paman dan Meimei telah mengusik tidurnya. Ia tampak sangat nyenyak.

"Iya, Meimei. Hewan ini harus terus dilatih agar dapat mengalahkan Aswad Sang Raja Cakar," ujar Paman Rondey. Phiti semakin bingung. Aswad? Siapa lagi dia? Monster macam apa lagi?

"Paman Rondey ini pintar menciptakan makhluk-makhluk aneh. Bahasa mudahnya bagimu, robot mungkin. Pernah dengar kan?" Meimei menjelaskan. Phiti terdiam. Robot memang sering diciptakan para ilmuwan atau menjadi tokoh super di film kartun anak-anak, tapi robot kan tidak seperti ini. Tepatnya, tidak mengerikan seperti ini.

"Paman Rondey tidak hanya pandai membuat Cotty, nama lain dari robot hewan, tapi juga Potty, nama lain dari..." kata-kata Meimei pun terhenti. Paman Rondey tampaknya memberikan suatu isyarat agar Meimei tidak berkata lebih banyak lagi. Entahlah, Phiti tak peduli apa yang hendak dikatakan Meimei. Tak peduli juga apa yang tak boleh diketahuinya. Kepalanya sungguh terasa pening. Keanehan-keanehan ini sudah di luar batas daya khayalnya. Ia hanya ingin kembali ke dalam dunia normal. Dunia yang membuat Phiti dapat menikmati manisnya es krim coklat kesukaannya.
0 Responses